Kontroversi mewarnai pendaftaran pasangan calon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, setelah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberikan sanksi kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari, atas pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP). Dalam pandangan Pakar Hukum Tata Negara, Fahri Bachmid, status legal pasangan calon tersebut tetap terjaga meskipun sanksi diberikan kepada Ketua KPU. Artikel ini akan menguraikan pandangan Fahri Bachmid dan implikasi hukum terkait pendaftaran paslon Prabowo-Gibran.
Pandangan Pakar Hukum: Menurut Fahri Bachmid, putusan DKPP terhadap Hasyim Asy’ari tidak memiliki implikasi konstitusional dan hukum terhadap pasangan calon Prabowo-Gibran. Dalam keterangan tertulisnya, Fahri menjelaskan bahwa pasangan calon tetap dianggap sebagai “legal subject” dan eksistensinya adalah konstitusional serta sah secara hukum. Sanksi yang diberikan kepada Ketua KPU dianggap tidak mempengaruhi status legal pasangan calon tersebut.
Konteks Pertama: Status Konstitusional KPU: Fahri Bachmid menekankan bahwa perlu memahami dua konteks yang berbeda dalam membaca putusan DKPP. Konteks pertama adalah status konstitusional KPU sebagai subjek hukum yang wajib melaksanakan perintah pengadilan, khususnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam konteks ini, tindakan KPU dianggap sebagai kewajiban konstitusional yang harus dilaksanakan.
Konteks Kedua: Pelanggaran Etik: Konteks kedua adalah pelanggaran etik yang terkait dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu. Fahri menyebutkan bahwa DKPP menilai tindakan KPU tidak sejalan dengan prosedur administratif, sehingga mengakibatkan pelanggaran etik. Namun, Fahri menekankan bahwa hal ini merupakan ranah etik dan tidak memiliki dampak langsung terhadap status legal paslon Prabowo-Gibran.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK): Fahri Bachmid menjelaskan bahwa Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang mengubah syarat batas usia peserta Pilpres, merupakan produk hukum yang mengikat bagi KPU. Dia merinci bahwa putusan MK bersifat final, mengikat umum, dan harus dilaksanakan oleh negara dan semua pemangku kepentingan. Oleh karena itu, tindakan KPU dalam menindaklanjuti perubahan syarat batas usia dianggap sebagai kewajiban konstitusional.
Kewajiban Konstitusional KPU: Dalam konteks hukum tata negara, Fahri menyatakan bahwa tindakan KPU yang mengikuti Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam pencalonan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 adalah tindakan yang sesuai dengan konstitusi. KPU dianggap memiliki kewajiban konstitusional untuk melaksanakan putusan tersebut, menjadikan pencalonan paslon Prabowo-Gibran tetap legal.
Implikasi Yuridis Putusan DKPP: Fahri menambahkan bahwa DKPP menyatakan tindakan KPU tidak sejalan dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu. Meskipun hal ini menjadi pertimbangan yuridis DKPP, Fahri menekankan bahwa aspek etik dan administratif tidak secara langsung memengaruhi status legal paslon. DKPP menggarisbawahi bahwa KPU seharusnya menyusun rancangan perubahan peraturan terkait sebagai tindaklanjut Putusan MK.
Kesimpulan: Meskipun DKPP memberikan sanksi kepada Ketua KPU Hasyim Asy’ari terkait pelanggaran etik terkait pendaftaran paslon Prabowo-Gibran, pandangan Pakar Hukum Tata Negara, Fahri Bachmid, menegaskan bahwa status legal paslon tetap terjaga. Putusan MK yang mengubah syarat batas usia peserta Pilpres dianggap sebagai kewajiban konstitusional yang harus diikuti oleh KPU. Sanksi yang diberikan DKPP dianggap sebagai ranah etik dan administratif, tidak langsung mempengaruhi keabsahan paslon Prabowo-Gibran. Oleh karena itu, meskipun terjadi kontroversi, pasangan calon tetap dianggap sah secara hukum.